Menurut Karl dan Fair (2001:635) suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman, dalam bentuk persentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun dibagi dengan jumlah pinjaman. Adapun fungsi suku bunga menurut Sunariyah (2004:81) yaitu:
a. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan.
b. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan suatu sektor industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan meminjam dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan sektor lain.
c. Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar. Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu perekonomian.
Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu penawaran tabungan dan permintaan investasi modal (terutama dari sektor bisnis). Tabungan adalah selisih antara pendapatan dan konsumsi. Bunga pada dasarnya berperan sebagai pendorong utama agar masyarakat bersedia menabung. Jumlah tabungan akan ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Semakin tinggi suku bunga, akan semakin tinggi pula minat masyarakat untuk menabung, dan sebaliknya. Tinggi rendahnya penawaran dana investasi ditentukan oleh tinggi rendahnya suku bunga tabungan masyarakat.
Menurut Prasetiantono (2000:99-101) jika suku bunga tinggi, otomatis orang akan lebih suka menyimpan dananya di bank karena ia dapat mengharapkan pengembalian yang menguntungkan. Dan pada posisi ini, permintaan masyarakat untuk memegang uang tunai menjadi lebih rendah karena mereka sibuk mengalokasikannya ke dalam bentuk portfolio perbankan (deposito dan tabungan). Seiring dengan berkurangnya jumlah uang beredar, gairah belanja pun menurun. Selanjutnya harga barang dan jasa umum akan cenderung stagnan, atau tidak terjadi dorongan inflasi. Sebaliknya jika suku bunga rendah, masyarakat cenderung tidak tertarik lagi untuk menyimpan uangnya di bank.
Beberapa aspek yang dapat menjelaskan fenomena tingginya suku bunga di Indonesia adalah tingginya suku bunga terkait dengan kinerja sektor perbankan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi (perantara), kebiasaan masyarakat untuk bergaul dan memanfaatkan berbagai jasa bank secara relatif masih belum cukup tinggi, dan sulit untuk menurunkan suku bunga perbankan bila laju inflasi selalu tinggi.
Namun, tanggal 11 Februari 2012, bank sentral memangkas suku bunga acuan (BI rate) 25 basis poin dari 6% menjadi 5,75%. Posisi BI rate ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah. Di tengah kelesuan ekonomi global, BI berharap penurunan suku bunga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Langkah bank sentral itu tidak banyak bermakna bila bank-bank tetap mematok suku bunga tinggi. Meski bukan satu-satunya penentu, suku bunga kredit yang tinggi akan membebani dunia usaha. Penurunan suku bunga kredit sudah sangat dinantikan dunia usaha. Bahkan, Kadin Indonesia berkali-kali meminta suku bunga kredit segera turun ke kisaran 8% per tahun.
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah rencana kenaikan BBM yang akan dilakukan oleh pemerintah. Kenaikan BBM jelas akan menaikkan tingkat inflasi dan menyulitkan para pengusaha menjalankan usahanya. Oleh karena itu dukungan modal yang lebih pasti diperlukan agar mereka bisa bertahan. Apakah dengan penurunan BI rate ini dapat menolong para pengusaha khususnya pengusaha kecil UMKM agar mereka dapat mendapatkan pinjaman modal dengan bunga yang pas? Apakah Bank Indonesia akan menaikkan nilai dari BI rate? Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 8 Maret 2012 memutuskan untuk mempertahankan BI rate sebesar 5,75%. Tingkat BI Rate tersebut dinilai masih konsisten dengan tekanan inflasi dari sisi fundamental yang masih terkendali ke depan serta tetap kondusif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari dampak penurunan kinerja perekonomian dunia. Terhadap rencana kebijakan Pemerintah di bidang energi (BBM), Bank Indonesia memperkirakan dampaknya pada inflasi bersifat temporer (one-time shock) dan inflasi akan kembali menurun sesuai dengan kondisi fundamental perekonomian. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia akan mengambil langkah kebijakan yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak inflasi jangka pendek tersebut melalui penguatan operasi moneter untuk mengendalikan ekses likuiditas jangka pendek, dengan tetap menjaga konsistensi kebijakan suku bunga dengan prakiraan makroekonomi ke depan. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta koordinasi kebijakan dengan Pemerintah baik melalui forum Tim Pengendalian Inflasi di tingkat pusat (TPI) maupun Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) untuk membawa inflasi tahun 2013 menuju kisaran 4,5% ± 1%. Bank Indonesia juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2012 diprakirakan mencapai 6,5% dan akan berlanjut pada triwulan II-2012 meskipun tidak setinggi pertumbuhan di triwulan I-2012. Pertumbuhan ekonomi didukung oleh masih kuatnya permintaan domestik, khususnya konsumsi rumah tangga dan investasi. Sementara itu, pertumbuhan ekspor diprakirakan melambat seiring dengan perlambatan ekonomi global dan penurunan harga komoditas global non-energi. Perkembangan ekonomi pada triwulan I dan II tersebut masih sejalan dengan prakiraan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 6,3%-6,7% untuk keseluruhan tahun 2012. Penimbangan risiko menunjukkan pertumbuhan cenderung bias ke bawah baik karena dampak perekonomian global maupun rencana kebijakan Pemerintah di bidang energi, apabila tidak ditempuh langkah-langkah stimulus khususnya dari kebijakan fiskal di samping dari kebijakan moneter dan perbankan. Dengan kondisi yang demikian maka bisa dipastikan Bank Sentral tidak akan gegabah untuk menurunkan BI rate kembali karena berusaha menghindari kemungkinan kredit macet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar