Di bawah ini adalah dasar hukum untuk pelaksanaan Pemilu di Indonesia:
Peraturan
UUD 1945
UU No. 12 Tahun2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (dicabut)
UU No. 23 Tahun2003 tentang Pemilu Presiden dan Wapres
UU No. 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 22 Tahun2007 tentang Penyelenggara Pemilu
UU No. 2 Tahun2008 tentang Partai Politik
UU No. 10 Tahun2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
PutusanMK RI
Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU No. 12 Tahun 2003 terhadap UUD 1945
Putusan MK tentang Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 terhadap UUD 1945 (revisi terbatas tentang Pilkada)
Pemilu adalah suatu kegiatan sebagai wujud aplikasi dari demokrasi yang dilaksanakan secara langsung, jujur
Hubungan antara pemilu dengan jaminan hak-hak warga negara:
Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945
Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
Pasal 28 UUD 1945
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 28E ayat(3) UUD 1945
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.**)
HAK MEMILIH (Pasal 19 UU No. 10 Tahun 2008)
(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuhbelas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
(2) Warga Negara Indonesia sebagai mana dimaksud pada ayat(1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Hubungan Pemilu dengan Demokrasi:
Pasal 1 ayat(2) UUD 1945: Kedaulatan rakyat. Ini berarti rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi.
Kedaulatan rakyat melalui perwakilan. Jadi sistem demokrasi yang berlangsung di Indonesia dilaksanakan secara perwakilan bukan secara sistem langsung seperti di polis-polis di Yunani pada masa lalu. Sistem perwakilan yang dimaksud berasal dari parpol & perwakilan daerah (DPD)
Mekanisme pemilihan anggota legislatif tersebut melalui mekanisme pemilu dimana pemilu adalah bagian dari proses demokrasi.
Bagaimana sistem pengaturan pemilu di Indonesia?
Pasal 18 (3): Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. **)
Pasal 19 (1): Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. **)
Pasal 22 C (1): Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. ***); (2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari seperti jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
Pasal 22 E: PEMILU
Khusus dalam tulisan ini, kita hanya akan mengkaji Undang-Undang yang mengatur tentang pemilihan anggota legislatif yaitu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Di Pasal 1 UU No. 10 tahun 1998 disebut yang berhak untuk melaksanakan Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimana KPU adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU berdiri di tingkat nasional, daerah tingkat I dan II. Sementara yang berada di luar negeri disebut PPPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri). Tempat pemungutan suara disebut TPS dan penyelenggaranya disebut Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Kemudian tempat pemungutan suara di luar negeri disebut TPSN dan penyelenggarnya disebut Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang dibentuk oleh PPLN setempat.
Untuk pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil maka dibentuk juga Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) untuk tingkat nasional, untuk tingkat provinsi dan kabupaten disebut Panwaslu (Panitia pengawas pemilu) tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Panwaslu nantinya akan membentuk Panitia Pengawas di lapangan untuk mengawasi pelaksanaan pemilu di setiap TPS. Sementara untuk yang di luar negeri disebut Panitia Pengawas Luar Negeri yang dibentuk oleh Bawaslu.
Peserta dari pemilu legislatif adalah partai politik yang telah memenuhi persyaratan untuk ikut dalam pemilu dimana nanti kalau sampai terpilih menjadi anggota DPR, DPRD Tk. I dan II, sementara untuk untuk yang perorangan menjadi anggota DPD. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, selanjutnya disebut BPP DPR adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5% (dua koma lima perseratus) dari suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu. Sementara bilangan pembagi pemilihan bagi kursi DPRD, selanjutnya disebut BPP DPRD adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dan terpilihnya anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sebelum pemilihan suara dilakukan para peserta pemilu diperbolehkan untuk berkampanye untuk menyampaikan visi & misinya kepada masyarkat apabila mereka terpilih.
Di Pasal 4 dijelaskan bahwa Pemilu legislatif dilaksanakan lima tahun sekali dengan urutan pelaksanaan sebagai berikut:
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
b. pendaftaran Peserta Pemilu;
c. penetapan Peserta Pemilu;
d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota;
f. masa kampanye;
g. masa tenang;
h. pemungutan dan penghitungan suara yang dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan;
i. penetapan hasil Pemilu; dan
j. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.
Untuk pemilihan anggota DPR & DPRD Tk. I & II dilaksanakan secara proporsional terbuka, sementara untuk pemilihan anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
Persyaratan bagi partai politik untuk bisa ikut pemilu antara lain:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan
g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
Sementara bagi partai politik yang sudah pernah ikut serta dalam pemilu sebelumnya secara otomatis langsung bisa ikut pemilu berikutnya.
Untuk pemilihan anggota DPD harulah diajukan secara perseorangan dan persyaratannya adalah sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundangundangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan.
Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dibuktikan dengan:
a. kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia.
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah.
c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
j. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai politik untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
k. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) daerah pemilihan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
Persyaratan dukungan minimal bagi seseorang untuk bisa menjadi anggota DPD adalah sebagai berikut:
a. provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 1.000 (seribu) pemilih;
b. provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 2.000 (dua ribu) pemilih;
c. provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 3.000 (tiga ribu) pemilih;
d. provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 4.000 (empat ribu) pemilih; atau
e. provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 5.000 (lima ribu) pemilih.
Dukungan tersebut harus tersebar di paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan dan harus dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi fotokopi kartu tanda penduduk setiap pendukung. Masyarakat tidak boleh memilih lebih dari 1 calon anggota DPD dan itu menyebabkan suaranya batal. Penetapan waktu pemilu legislatif ditentukan oleh KPU.
Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD adalah sebagai berikut:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah;
c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
i. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
Untuk penetapan jumlah kursi DPR sebanyak 560 kursi, dimana daerah pemilihan berasal dari tingkat provinsi & minimal ada 3 kursi dari setiap propinsi di DPR. Untuk penetapan jumlah kursi DPRD Tk. I, paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 100 (seratus). Ketentuan untuk penetapan jumlah kursi DPRD Tk. I:
a. provinsi dengan jumlah Penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;
b. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh lima) kursi;
c. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa memperoleh alokasi 55 (lima puluh lima) kursi;
d. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa memperoleh alokasi 65 (enam puluh lima) kursi;
e. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa memperoleh alokasi 75 (tujuh puluh lima) kursi;
f. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 85 (delapan puluh lima) kursi;
g. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 100 (seratus) kursi.
Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya. Alokasi kursi yang disediakan adalah minimal 3 kursi dan maksimal 12 untuk setiap daerah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota.
Untuk penetepan jumlah kursi DPRD Tk. II, paling sedikit 20 (dua puluh) dan paling banyak 50 (lima puluh). Ketentuan untuk penetapan jumlah kursi DPRD Tk. II:
a. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 20 (dua puluh) kursi;
b. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 100.000 (seratus ribu) sampai dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 25 (dua puluh lima) kursi;
c. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 200.000 (dua ratus ribu) sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 30 (tiga puluh) kursi;
d. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu) sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;
e. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 400.000 (empat ratus ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 40 (empat puluh) kursi;
f. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh lima) kursi;
g. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 50 (lima puluh) kursi.
Daerah pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya. Apabila ada penambahan jumlah kursi maka itu diberikan kepada daerah dengan penduduk terbanyak. Alokasi kursi yang disediakan adalah minimal 3 kursi dan maksimal 12 untuk setiap daerah kecamatan atau gabungan kecamatan.
Untuk jumlah kursi anggota DPD adalah empat kursi untuk masing-masing propinsi. Jadi, daerah pemilihan anggota DPD berasal dari tingkat propinsi.
Pemerintah dan pemerintah daerah harus menyediakan data kependudukan untuk membuat daftar pemilih paling lambat dua belas bulan sebelum waktu pemilihan. Daftar pemilih yang dibuat harus terdiri dari nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat warga negara Indonesia yang mempunyai hak memilih. Penyusunan daftar pemilih yang dilakukan KPU dibantu oleh PPS. Data kependudukan yang diterima KPU dari pemerintah kabupaten/kota harus dmutakhirkan untuk penyusunan daftar pemilih sementara. Pemutakhiran data pemilih ini dibantu oleh PPS dan PPK serta perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga dan sebutan lainnya paling lambat harus sudah selesai 3 bulan setelah diterimanya data kependudukan.
Daftar pemilih sementara yang dibuat berbasis pada rukun tetangga atau sebutan lainnya palin lambat satu bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data. Setelah daftar pemilih sementara dibuat maka itu harus diumumkan kepada masyarakat selama seminggu untuk menerima masukan atau tanggapan masyarakat apabila ada data yang keliru. Laporan mengenai kekeliruan tersebut palin lambat sudah diterima PPS 14 hari sejak diedarkannya daftar salinan pemilih sementara. Setelah datanya diperbaiki lalu diumumkan lagi kepada masyarakat selama tiga hari untuk melihat respon masyarakat, kalau ada lagi kesalahan dalam data daftar pemilih tetap maka PPS harus memperbaikinya dan mengirim datanya melalui PPK kepada KPU kabupaten/kota untuk dibuat daftar pemilih tetap. Setelah KPU kabupaten/kota membuat daftar pemilih tetap maka itu harus dilaporkan ke KPU tingkat provinsi dan parpol-parpol peserta pemilu di tingkat kabupaten/kota. Daftar pemilih tetap yang sudah dibuat lalu diumumkan juga kepada masyarakat beserta TPSnya nanti. Bila waktu pemilihan tiba, setiap orang harus menunjukkan tanda bukti identitas dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar sebagai pemilih di TPS yang telah ditentukan. Sementara Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK dan PPS.
Untuk proses pemutakhiran data pemilih, pembuatan data pemilih sementara dan tetap beserta pengawasannya untuk di luar negeri, tidak berbeda dengan di dalam negeri.
Seandainya ditemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN. Kemudian KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Untuk verifikasi calon anggota legislatif bergantung pada kebijakan internal parpol dan harus minimal menampilkan 30% keterwakilan perempuan. Dan KPU harus membuat daftar calon legislatif sementara untuk melihat tanggapan parpol dan masyarakat. Apabila ditemukan ada yang memalsukan persyaratan untuk menjadi prasyarat menjadi anggota legislatif maka akan berurusan dengan pihak kepolisian dan apabila terbukti benar ketika di pengadilan maka parpol tersebut tidak dapat mengajukan calon pengganti. Setelah datanya diperbaiki maka KPU tinggal membuat daftar tetap calon anggota legislatif.
Pelaksanaan kampanye untuk pemilu legislatif diikuti oleh pengurus partai politik, calon anggota DPR,
DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, juru kampanye, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Kemudian pelaksana kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota DPD, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPD. Semua peserta kampanye adalah warga masyarakat. Semua pelaksanaan kampanye harus dilaporkan secara detail kepada KPU. Materi kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota meliputi visi, misi, dan program partai politik. Sementara bagi calon anggota DPD, materi kampanye Perseorangan Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPD meliputi visi, misi, dan program yang bersangkutan.
Kampanye Pemilu dapat dilakukan melalui:
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka;
c. media massa cetak dan media massa elektronik;
d. penyebaran bahan kampanye kepada umum;
e. pemasangan alat peraga di tempat umum;
f. rapat umum; dan
g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan pemilu dimulai tiga hari setelah penetapan daftar caleg (calon anggota legislatif) tetap dan dilaksanakan selama 21 hari sampai masa tenang. Masa tenang berlaku selama tiga hari baru setelah itu pelaksanaan pemilu dilangsungkan. Untuk waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPR dan DPD ditetapkan dengan keputusan KPU setelah KPU berkoordinasi dengan Peserta Pemilu. Demikian juga untuk pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU setempat setelah berkoordinasi dengan para peserta pemilu.
Larangan selama pemilu antara lain:
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
e. mengganggu ketertiban umum;
f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu;
h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.
k. menghadirkan tokoh-tokoh sebagai berikut:
Ketua, Wakil Ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawahnya, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia;
pejabat BUMN/BUMD;
pegawai negeri sipil;
anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
kepala desa;
perangkat desa;
anggota badan permusyaratan desa; dan
Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.
l. memakai fasilitas negara dan mengerahkan pegawai negeri sipil yang menjadi anak buahnya di instansi yang pernah dipimpinnya.
Apabila dalam pelaksanaan pemilu mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan:
a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; dan
b. menjalani cuti di luar tanggungan negara dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Bila dilanggar akan dikenakan denda sesuai ketentuan yang berlaku dan dimasukkan ke kas negara.
Setiap penyampaian visi misi dalam kampanye, bisa disampaikan melalui tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan. Lembaga penyiaran publik Televisi Republik Indonesia (TVRI), lembaga penyiaran publik Radio Republik Indonesia (RRI), lembaga penyiaran publik lokal, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan memberikan alokasi waktu yang sama dan memperlakukan secara berimbang Peserta Pemilu untuk menyampaikan materi kampanye. Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di televisi untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa kampanye. Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di radio untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 60 (enam puluh) detik untuk setiap stasiun radio setiap hari selama masa kampanye. Bila ada pelanggaran maka akan dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah;
c. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu;
d. denda;
e. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu untuk waktu tertentu; atau
f. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.
Setiap calon anggota legislatif diperbolehkan memasang alat peraga seperti baliho, spanduk dan sebagainya di tempat-tempat umum asalkan tidak mengganggu ketertiban umum, tidak merusak estetika, kebersihan, dan keindahan kota. Pemasangan alat-alat peraga tersebut harus dikoordiansikan dengan Pemda setempat dan satu hari menjelang pemilihan semua alat peraga tersebut harus dicopot dan dibersihkan.
Bawaslu bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya pemilu di semua tingkat, apabila ada laporan dari Panwaslu di daerah tentang adanya kecurangan administratif maka Bawaslu berhak melakukan penyelesaian pada hari itu juga dan melaporkannya ke KPU. Bila pelanggaran itu dilakukan oleh anggota KPU baik di daerah maupun pusat maka Bawaslu hanya memberikan rekomendasi kepada KPU untuk memberi sanksi.
Dana pelaksanaan kampanye pemilu menjadi partai politik peserta pemilu masing-masing. Sumber-sumber dana tersebut antara lain:
a. partai politik;
b. calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik yang bersangkutan; dan
c. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
Dana tersebut bisa berupa uang, barang atau jasa. Dana yang diterima harus dimasukkan dalam rekening khusus & tidak boleh dijadikan satu dengan keuangan parpol. Pembukuan dana kampanye Pemilu dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU. Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan tidak boleh melebihi 5 miliar rupiah. Sementara dari pihak lain dari perusahaan atau badan usaha non-pemerintah tidak boleh lebih dari 5 miliar rupiah. Baik dari perorangan maupun bukan harus menampilkan identitasnya dengan benar dan jelas.
Demikian juga untuk dana untuk kampanye calon anggota DPD harus berasal dari dana sendiri dan pihak lain non-pemerintah. Dana tersebut bisa berupa uang, barang atau jasa. Dana yang diterima harus dimasukkan ke dalam rekening khusus untuk pemilu dan pembukuan dana kampanye Pemilu dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU. Dana kampanye pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan tidak boleh lebih dari 250 juta rupiah, sementara dari pihak lain dari perusahaan atau badan usaha non-pemerintah tidak boleh lebih dari 500 juta rupiah. Baik dari perorangan maupun bukan harus menampilkan identitasnya dengan benar dan jelas.
Baik caleg legislatif dari parpol maupun untuk DPD harus laporan awal dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum. Laporan dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu dan calon anggota DPD yang meliputi penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan suara. Kemudian Kantor akuntan publik menyampaikan hasil audit kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan. Setelah itu KPU harus melaporkan hasil audit dana kampanye kepada para peserta pemilu paling lambat 7 hari dan 10 hari kepada publik sejak diterimanya hasil audit dari kantor akuntan publik tersebut.
KPU menetapkan kantor akuntan publik di setiap provinsi dengan persyaratan sebagai berikut:
a. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa rekan yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana kampanye tidak berafiliasi secara langsung ataupun tidak langsung dengan partai politik dan calon anggota DPD Peserta Pemilu;
b. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa rekan yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana kampanye bukan merupakan anggota atau pengurus partai politik.
Biaya jasa akuntan publik ini dibebankan kepada kas dan belanja negara. Bila kantor akuntan publik tersebut memberikan laporan audit yang tidak benar maka KPU berhak untuk tidak membayar jasa kantor akuntan publik tersebut dan tidak memakainya pada periode pemilu brikutnya.
Apabila pengurus parpol dan calon anggota DPD tidak memberikan laporan mengenai dana awal kampanye kepada KPU maka KPU berhak untuk membatalkan keikutsertaan caleg parpol tersebut dan calon anggota DPD tersebut dalam pemilu. Demikian juga bila pengurus parpol dan calon anggota DPD tidak menyampaikan laporan dana sumbangan lainnya kepada kantor akuntan publik sampai batas waktu yang telah ditentukan, maka KPU berhak membatalkan keikutsertaan caleg parpol tersebut dan calon anggota DPD tersebut dalam pemilu.
Jenis perlengkapan pemungutan suara terdiri atas:
a. kotak suara;
b. surat suara;
c. tinta;
d. bilik pemungutan suara;
e. segel;
f. alat untuk memberi tanda pilihan; dan
g. tempat pemungutan suara.
Dalam pendistribusian dan pengamanan perlengkapan pemungutan suara, KPU dapat bekerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Surat suara untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memuat tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut calon, dan nama calon tetap partai politik untuk setiap daerah pemilihan. Sementara surat suara untuk calon anggota DPD berisi pas foto diri terbaru dan nama calon anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan. Jenis, bentuk, ukuran, warna, dan spesifikasi teknis lain surat suara ditetapkan dalam peraturan KPU. Nomor urut tanda gambar partai politik dan calon anggota DPD ditetapkan dengan keputusan KPU. Pengadaan surat suara dilakukan di dalam negeri dengan mengutamakan kapasitas cetak yang sesuai dengan kebutuhan surat suara dan hasil cetak yang berkualitas baik. Jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap
ditambah dengan 2% dari jumlah pemilih tetap sebagai
cadangan, yang ditetapkan dengan keputusan KPU. Selain menetapkan pencetakan surat suara, KPU menetapkan besarnya jumlah surat suara untuk pelaksanaan pemungutan suara ulang. Jumlah surat suara yang ditetapkan oleh KPU untuk setiap daerah pemilihan sebanyak 1.000 surat suara pemungutan suara ulang yang diberi tanda khusus, masing-masing surat suara untuk anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Perusahaan pencetak surat suara dilarang mencetak surat suara lebih dari jumlah yang ditetapkan oleh KPU dan harus menjaga kerahasiaan, keamanan, serta keutuhan surat suara. KPU boleh meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengamankan surat suara selama proses pencetakan berlangsung, penyimpanan, dan pendistribusian ke tempat tujuan. KPU juga memverifikasi jumlah surat suara yang telah dicetak, jumlah yang sudah dikirim dan yang masih tersimpan dengan membuat berita acara yang ditandatangani oleh pihak percetakan dan petugas KPU. KPU harus mengawasi dan mengamankan desain, film separasi, dan plat cetak yang digunakan untuk membuat surat suara, sebelum dan sesudah digunakan serta menyegel dan menyimpannya. Tata cara pelaksanaan pengamanan terhadap pencetakan, penghitungan, penyimpanan, pengepakan, dan pendistribusian surat suara ke tempat tujuan ditetapkan dengan peraturan KPU. Pengawasan atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota serta Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU kabupaten/kota mengenai pengadaan dan distribusi perlengkapan pemungutan suara dilaksanakan oleh Bawaslu dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan secara serentak. Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk semua daerah pemilihan ditetapkan dengan keputusan KPU. Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 orang. Jumlah surat suara di setiap TPS sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di dalam daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan
ditambah dengan 2% dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan. Penggunaan surat suara cadangan harus dibuatkan berita acaranya. Pelaksanaan pemungutan suara dipimpin oleh KPPS. Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih dan pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu. Untuk penanganan ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap TPS dilaksanakan oleh 2 orang petugas yang ditetapkan oleh PPS. Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh Pengawas Pemilu
Lapangan. Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang telah diakreditasi oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. Saksi harus menyerahkan mandat tertulis dari Partai Politik Peserta Pemilu atau dari calon anggota DPD. Proses pemilihan dilakukan dengan memberikan tanda bukan dengan mencoblos seperti dulu. Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih. Pemungutan suara bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri hanya memilih calon anggota DPR. Pemungutan suara di luar negeri dilaksanakan di setiap Perwakilan Republik Indonesia dan dilakukan pada waktu yang sama atau waktu yang disesuaikan dengan waktu pemungutan suara di Indonesia. Dalam hal pemilih tidak dapat memberikan suara di TPSLN yang telah
ditentukan, pemilih dapat memberikan suara melalui pos yang disampaikan kepada PPLN di Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pemilih tidak boleh membubuhkan tulisan dan/atau catatan lain pada surat suara. Surat suara yang terdapat tulisan atau catatan lain dinyatakan tidak sah. Pemilih yang telah memberikan suara, diberi tanda khusus oleh KPPS/KPPSLN.
Suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS dan pemberian tanda satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Suara untuk Pemilu anggota DPD dinyatakan sah apabila surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS dan pemberian tanda satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD. Peserta Pemilu, saksi, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri dan masyarakat dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan penghitungan suara kepada KPPS/KPPSLN. Setiap keberatan yang diajukan melalui saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri bila dapat diterima, maka KPPS/KPPSLN seketika itu juga mengadakan pembetulan. Hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN dituangkan ke dalam berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta ke dalam sertifikat hasil penghitungan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU. Berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara ditandatangani oleh seluruh anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir. Bila terdapat anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir tidak bersedia menandatanganinya, berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara ditandatangani oleh anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani. PPS kemudian menyerahkan kotak suara lengkap dengan surat berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara kepada PPK. PPK melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kecamatan. Rekapitulasi penghitungan suara dilakukan dengan membuka kotak suara tersegel untuk mengambil sampul yang berisi berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara, kemudian kotak ditutup dan disegel kembali. PPK membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara. PPK mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di tempat umum. PPK menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tersebut kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu kecamatan, dan KPU kabupaten/kota.
Panwaslu kecamatan wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada PPK. Saksi dapat menyampaikan laporan dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada PPK. Kemudian PPK wajib langsung menindaklanjuti laporan pada hari pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada PPK. Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU. Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus ditandatangani oleh seluruh anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir. Bila terdapat anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir, tetapi tidak bersedia menandatanganinya, maka berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani. PPK wajib menyerahkan kepada KPU kabupaten/kota surat suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari TPS dalam kotak suara tersegel serta berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat PPK yang dilampiri berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara dari TPS.
Proses rekapitulasi perhitungan suara ini terus diulang di tingkat kabupaten/kota, kemudian setelah selesai dibawa ke tingkat provinsi untuk direkapitulasi lagi. Setelah itu hasilnya dibawa ke KPU pusat untuk direkapitulasi kembali sambil diawasi oleh Bawaslu dan saksi peserta Pemilu. Setelah itu KPU pusat menetapkan hasil akhir rekapitulasi suara yang masuk, kemudian membuat laporannya kepada saksi peserta pemilu dan Bawaslu.
Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu. Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu provinsi. Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kabupaten/kota. KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon anggota DPD paling lambat 30 hari setelah hari/tanggal pemungutan suara. KPU provinsi menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi paling lambat 15 hari setelah hari/tanggal pemungutan suara. KPU kabupaten/kota menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota paling lambat 12 hari setelah hari/tanggal pemungutan suara. Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, sementara untuk perolehan kursi DPRD kabupaten/kota dan provinsi tidak berlaku sistem yang demikian. Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara, tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan. Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara di DPR. Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPR ditetapkan oleh KPU. Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi. Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota. Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu di daerah
pemilihan yang bersangkutan. Dari hasil penghitungan seluruh suara sah ditetapkan angka BPP DPR. Setelah ditetapkan angka BPP DPR dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap pertama dengan membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan BPP DPR. Bila masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% dari BPP DPR. Apabila masih juga terdapat sisa kursi setelah dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan. BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi. Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan. Bila memang masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang baru, maka penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada Partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak. Apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dan sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu sudah terkonversi menjadi kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki akumulasi perolehan suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi yang bersangkutan.
Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan masing-masing. BPP DPRD ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi dengan jumlah kursi anggota DPRD provinsi di daerah pemilihan masing-masing. Apabila masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis. Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan masing-masing. BPP DPRD ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota dengan jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota di daerah pemilihan masing-masing. Apabila masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:
a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP;
b. apabila calon yang memenuhi ketentuan jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% dari BPP;
c. Bila terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% dari BPP;
d. Bila calon yang memenuhi ketentuan jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. Bila tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di provinsi yang bersangkutan. Apabila perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara yang sama, calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih. KPU menetapkan calon pengganti antar waktu anggota DPD dari nama calon yang memperoleh suara terbanyak kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan di provinsi yang bersangkutan.
Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota;
d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bila terjadi salah 1 dari 4 kemungkinan di atas terhadap calon anggota legislatif maka penetapan yang bersangkutan langsung demi hukum. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diganti dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan surat keputusan pimpinan partai politik yang bersangkutan.
Calon terpilih anggota DPD yang mengalami salah 1 dari 4 kejadian di atas diganti dengan calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya. KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih pengganti dengan keputusan KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota.
Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan. Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas Pemilu Lapangan terbukti terdapat keadaan sebagai berikut:
a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
b. petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan; atau
c. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah.
d. penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
e. penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau yang kurang mendapat penerangan cahaya;
f. penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang jelas;
g. penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;
h. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, dan warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara jelas;
i. penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan; atau
j. terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan surat suara yang tidak sah.
Pemungutan suara ulang diusulkan oleh KPPS dengan menyebutkan keadaan yang menyebabkan diadakannya pemungutan suara ulang. Usul KPPS diteruskan kepada PPK untuk selanjutnya diajukan kepada KPU kabupaten/kota untuk pengambilan keputusan diadakannya pemungutan suara ulang. Pemungutan suara ulang di TPS dilaksanakan paling lama 10 hari setelah hari/tanggal pemungutan suara berdasarkan keputusan PPK.
Bila terjadi perbedaan jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dari PPK dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara yang diterima oleh KPU kabupaten/kota, saksi Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu tingkat kecamatan, Panwaslu kabupaten/Kota, atau Panwaslu kecamatan, maka KPU kabupaten/kota melakukan pembetulan data melalui pengecekan atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk PPK yang bersangkutan. Bila terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU kabupaten/kota dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang diterima oleh KPU provinsi, saksi Peserta Pemilu tingkat provinsi dan saksi Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota, panitia pengawas Pemilu provinsi, atau panitia pengawas Pemilu kabupaten/kota, maka KPU provinsi melakukan pembetulan data melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk KPU kabupaten/kota yang bersangkutan. Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU provinsi dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang diterima oleh KPU, saksi Peserta Pemilu tingkat pusat dan saksi Peserta Pemilu tingkat provinsi, Badan Pengawas Pemilu, atau panitia pengawas Pemilu provinsi, maka KPU melakukan pembetulan data melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk KPU provinsi yang bersangkutan. Dalam hal Pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% jumlah provinsi atau 50% dari jumlah pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU.
Pelaksanaan Pemilu dapat dipantau oleh pemantau Pemilu, meliputi:
a. lembaga swadaya masyarakat pemantau Pemilu dalam negeri;
b. badan hukum dalam negeri;
c. lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri;
d. lembaga pemilihan luar negeri; dan
e. perwakilan negara sahabat di Indonesia.
Pemantau Pemilu harus memenuhi persyaratan:
a. bersifat independen;
b. mempunyai sumber dana yang jelas; dan
c. terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya.
Untuk pemantau pemilu dari luar negeri harus memiliki persyaratan khusus:
a. mempunyai kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau Pemilu di negara lain, yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari organisasi pemantau yang bersangkutan atau dari pemerintah negara lain tempat yang bersangkutan pernah melakukan pemantauan;
b. memperoleh visa untuk menjadi pemantau Pemilu dari Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri;
c. memenuhi tata cara melakukan pemantauan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pemantau Pemilu melakukan pemantauan pada satu daerah pemantauan sesuai dengan rencana pemantauan yang telah diajukan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota. Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu provinsi harus mendapatkan persetujuan KPU dan wajib melapor ke KPU provinsi masing-masing. Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu kabupaten/kota pada satu provinsi harus mendapatkan persetujuan KPU provinsi dan wajib melapor ke KPU kabupaten/kota masing-masing. Setiap pemantau pemilu wajib memiliki tanda pengenal yang berisi data-data seperti:
a. nama dan alamat pemantau Pemilu yang memberi tugas;
b. nama anggota pemantau yang bersangkutan;
c. pas foto diri terbaru anggota pemantau yang bersangkutan;
d. wilayah kerja pemantauan; dan
e. nomor dan tanggal akreditasi.
Pemantau Pemilu mempunyai hak:
a. mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari Pemerintah Indonesia;
b. mengamati dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan Pemilu;
c. memantau proses pemungutan dan penghitungan suara dari luar TPS;
d. mendapatkan akses informasi yang tersedia dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota; dan
e. menggunakan perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan pemantauan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu.
Sementara pemantau asing yang berasal dari perwakilan negara asing yang berstatus diplomat berhak atas kekebalan diplomatik selama menjalankan tugas sebagai pemantau Pemilu.
Pemantau Pemilu mempunyai kewajiban:
a. mematuhi peraturan perundang-undangan dan menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mematuhi kode etik pemantau Pemilu yang diterbitkan oleh KPU;
c. melaporkan diri, mengurus proses akreditasi dan tanda pengenal ke KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja pemantauan;
d. menggunakan tanda pengenal selama menjalankan pemantauan;
e. menanggung semua biaya pelaksanaan kegiatan pemantauan;
f. melaporkan jumlah dan keberadaan personel pemantau Pemilu serta tenaga pendukung administratif kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan wilayah pemantauan;
g. menghormati kedudukan, tugas, dan wewenang penyelenggara Pemilu;
h. menghormati adat istiadat dan budaya setempat;
i. bersikap netral dan objektif dalam melaksanakan pemantauan;
j. menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauan yang dilakukan dengan mengklarifikasikan kepada KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota; dan
k. melaporkan hasil akhir pemantauan pelaksanaan Pemilu kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
Pemantau Pemilu dilarang:
a. melakukan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan Pemilu;
b. memengaruhi pemilih dalam menggunakan haknya untuk memilih;
c. mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara Pemilu;
d. memihak kepada Peserta Pemilu tertentu;
e. menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan mendukung Peserta Pemilu;
f. menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau fasilitas apa pun dari atau kepada Peserta Pemilu;
g. mencampuri dengan cara apa pun urusan politik dan pemerintahan dalam negeri Indonesia;
h. membawa senjata, bahan peledak dan/atau bahan berbahaya lainnya selama melakukan tugas pemantauan;
i. masuk ke dalam TPS;
j. melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau Pemilu.
Setiap pelanggaran oleh pemantau Pemilu atas kewajiban dan larangan harus dilaporkan kepada KPU kabupaten/kota untuk ditindaklanjuti. Bila pelanggaran atas kewajiban dan larangan dilakukan oleh pemantau dalam negeri dan terbukti kebenarannya, maka KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu. Bila pelanggaran atas kewajiban dan larangan dilakukan oleh pemantau asing dan terbukti kebenarannya, maka KPU mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu. Pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang bersifat tindak pidana atau perdata yang dilakukan oleh pemantau Pemilu, maka pemantau Pemilu yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Menteri yang membidangi hukum dan hak asasi manusia menindaklanjuti penetapan pencabutan status dan hak pemantau asing setelah berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebelum melaksanakan pemantauan, pemantau Pemilu melapor kepada KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah. Untuk petunjuk teknis pelaksanaan pemantauan diatur dalam peraturan KPU dengan memperhatikan pertimbangan dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu, dengan ketentuan:
a. tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu.
b. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu.
c. bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas.
d. mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.
Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU. Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang. Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara. Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi yang digunakannya dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilu.
Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Laporan tentang pelanggaran pemilu tersebut dapat disampaikan oleh warga masyarakat yang memiliki hak pilih, pemantau pemilu, dan peserta pemilu. Laporan dapat disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dengan paling sedikit memuat:
a. nama dan alamat pelapor;
b. pihak terlapor;
c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan
d. uraian kejadian.
Laporan disampaikan paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu. Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima. Bila dari hasil laporan tersebut terbukti kebenarannya, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 hari setelah laporan diterima. Bila Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut dilakukan paling lama 5 hari setelah laporan diterima. Laporan pelanggaran administrasi Pemilu diteruskan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. Laporan pelanggaran pidana Pemilu diteruskan kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 hari sejak menerima laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota. Apabila hasil penyidikan ternyata belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3 hari sejak tanggal penerimaan berkas harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Kemudian Penuntut umum melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan negeri paling lama 5 hari sejak menerima berkas perkara. Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Sidang pemeriksaan perkara pidana Pemilu dilakukan oleh hakim khusus. Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus diatur dengan peraturan Mahkamah Agung. Pengadilan negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu paling lama 7 hari setelah pelimpahan berkas perkara. Bila terhadap putusan pengadilan lalu diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan. Pengadilan negeri melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada pengadilan tinggi paling lama 3 hari setelah permohonan banding diterima. Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding paling lama 7 hari setelah permohonan banding diterima. Putusan pengadilan tinggi merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain. Putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana Pemilu yang menurut Undang-Undang ini dapat memengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional. KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan pengadilan dan salinan putusan pengadilan harus sudah diterima KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota dan Peserta Pemilu pada hari putusan pengadilan tersebut dibacakan.
Bila terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, maka Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi. Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 3 X 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU. Kemudian KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00. Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu menurut Undang-Undang ini, dipidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 dan paling banyak Rp36.000.000,00.
Petugas PPS/PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan Peserta Pemilu harus dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 6 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 dan paling banyak Rp6.000.000,00. Setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, wajib dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp36.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam Pemilu, maka harus dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 dan paling banyak Rp36.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat atau dokumen yang dipalsukan untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota atau calon Peserta Pemilu, maka harus dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 dan paling banyak Rp72.000.000,00. Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu, maka harus dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp36.000.000,00. Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu dan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam, maka wajib dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp36.000.000,00. Setiap orang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk masing-masing Peserta Pemilu, maka wajib dipidana penjara paling singkat 3 bulan atau paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 atau paling banyak Rp12.000.000,00. Setiap orang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu wajib dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00. Setiap pelaksana kampanye yang melanggar larangan yang berlaku, dikenai pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp30.000.000,00 dan paling banyak Rp60.000.000,00. Setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/hakim Agung/hakim Konstitusi, hakim pada semua badan peradilan, Ketua/Wakil Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia serta Pejabat BUMN/BUMD yang melanggar larangan pemilu dikenai pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000,00 dan paling banyak Rp50.000.000,00. Setiap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa, dan anggota badan permusyaratan desa yang melanggar larangan pemilu dikenai pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00.
Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah harus dipidanakan dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00. Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dalam pelaksanaan kampanye Pemilu harus dipidanakan dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00. Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan harus dipidanakan dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 dan paling banyak Rp5.000.000.000,00. Pelaksana kampanye yang terbukti menerima sumbangan dan/atau bantuan harus dipidanakan dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 dan paling banyak Rp36.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00.
Pelaksana kampanye yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan wajib dipidanakan dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00. Bila tindak pidana dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 18 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp18.000.000,00. Setiap pelaksana, peserta, atau petugas kampanye yang terbukti dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu harus dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye harus dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00. Setiap orang atau lembaga survei yang mengumumkan hasil survei atau hasil jejak
pendapat dalam masa tenang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00.
Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp120.000.000,00 dan paling banyak Rp240.000.000,00. Setiap perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU maka akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 48 bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 dan paling banyak Rp10.000.000.000,00. Setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasian, keamanan, dan keutuhan surat suara, maka akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 48 bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 dan paling banyak Rp10.000.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp36.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 dan paling banyak Rp36.000.000,00.
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara mengaku dirinya sebagai orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 18 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp18.000.000,00. Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 18 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp18.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 dan paling banyak Rp60.000.000,00. Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya pada pemungutan suara, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 dan paling banyak Rp36.000.000,00. Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan surat suara pengganti hanya satu kali kepada pemilih yang menerima surat suara yang rusak dan tidak mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00. Setiap orang yang bertugas membantu pemilih yang dengan sengaja memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00.
Bila KPU kabupaten/kota tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS sementara persyaratan dalam Undang-Undang ini telah terpenuhi, maka anggota KPU kabupaten/kota akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00. Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU kabupaten/kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00. Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang sudah disegel, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00. Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPK yang karena kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan suara, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00. Dan mengenai hal ini bila dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00.
Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 60 bulan dan paling lama 120 bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00. Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak membuat dan menandatangani berita acara perolehan suara Peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00. Setiap KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan salinan satu eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00. Setiap KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 18 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp18.000.000,00.
Setiap Pengawas Pemilu Lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota sebagaimana, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00. Setiap PPS/PPLN yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS/TPSLN di wilayah kerjanya, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 dan paling banyak Rp12.000.000,00. Bila KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional, maka anggota KPU akan dipidanakan dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp240.000.000,00 dan paling banyak Rp600.000.000,00. Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 18 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp18.000.000,00. Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 18 bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 dan paling banyak Rp18.000.000,00.
Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 dan paling banyak Rp24.000.000,00. Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, dan/atau Pengawas Pemilu Lapangan/pengawas Pemilu Luar Negeri yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 dan paling banyak Rp36.000.000,00.
Ketentuan mengenai keikutsertaan partai politik lokal di Aceh dalam Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, berlaku ketentuan Undang-Undang ini.
Untuk hasil perolehan suara dari pemilih di luar negeri dimasukkan sebagai perolehan suara untuk daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta II.
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.
Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau
e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Kelemahan sistem pemilu di Indonesia khususnya pemilu legislatif sehingga terjadi money politics:
1. Di Pasal 99 tidak tercantum siapakah yang berhak memberi sanksi bagi lembaga penyiaran publik baik stasiun televisi maupun radio apabila mereka melakukan pelanggaran penyiaran kampanye pemilu. Karena KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan Dewan Pers hanya sekedar mengawasi dan melaporkan apabila ada pelanggaran.
2. Di Pasal 124 ayat 4, Bawaslu hanya diberikan wewenang untuk memberikan rekomendasi kepada KPU apabila ada pelanggaran administratif yang dilakukan oleh anggota KPU baik pusat maupun daerah. Dan di pasal 126 ayat disebut Bawaslu cuma bisa melaporkan dugaan kecurangan administratif yang dilakukan oleh anggota KPU pusat maupun daerah kepada polisi.
3. Di Pasal 130 disebut bahwa Dana kampanye Pemilu yang bersumber dari sumbangan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c bersifat tidak mengikat dan dapat berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non-pemerintah. Namun ini tidak diberi tahu apa jaminannya bahwa dana dari pihak lain tersebut sifatnya tidak mengikat.
4. Di Pasal 137 tidak disebutkan sanksi yang lebih tegas terhadap kantor akuntan publik yang memberikan laporan hasil auditnya terhadap dana kampanye pemilu kepada KPU. KPU hanya diperbolehkan untuk tidak membayar jasa dan tidak memakai lagi jasa dari kantor akuntan publik tersebut.
5. Di Pasal 183 ayat 3 disebut bila PPK menemukan pelanggaran pada rekapitulasi suara dan pembuatan sertifikat hasil suara maka wajib melaporkannya kepada PPK lagi?!?!?! Lalu apa sanksinya? Tidak jelas!!!
Menurut pendapat saya, berikut adalah beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan solusi untuk 5 permasalahan di atas:
1. KPI harus diberi wewenang untuk memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran publik seperti stasiun tv atau radio yang melakukan pelanggaran kampanye pemilu, seperti memberi peringatan atau bila diulangi lagi bisa dicabut izin mengudaranya.
2. Bawaslu diberi wewenang yang lebih luas untuk menyelidiki setiap dugaan kecurangan dan diberi otoritas seperti KPK untuk menangkap anggota KPU pusat atau daerah yang melakukan kecurangan tersebut.
3. Semua peserta harus menampilkan bukti hitam di atas putih bahwa sumbangan pihak lain terhadap kampanye mereka memang tidak mengikat.
4. KPU harus melaporkan keberadaan kantor akuntan publik tersebut ke pihak yang berwajib supaya izin beroperasinya dicabut.
5. Bukan PPK yang memberi sanksi tetapi otoritas yang di atasnya yaitu KPU tingkat kabupaten/kota.
Sumber:
http://ihtiroom.staff.uns.ac.id/files/2009/01/herlambang-sistem-pemilu1.pdf
http://www.mahkamahagung.go.id/images/pdp/uu_10_2008.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar